Tanggal hijriah

Friday, January 25, 2013

Anugerah Terindah Yang Pernah Rey Miliki

Pagi ini aku datang lebih awal ke kampus. Hanya mbak-mbak tukang sapu di kampus lah yang aku dapati. Satpam yang biasa ada di parkiran pun belum Nampak kehadirannya. Ini memang benar-benar masih pagi. Satu jam sebelum mata kuliah di mulai, aku telah hadir. Rajinnyaa, pikirku.
Aku berjalan dari parkiran setelah memarkirkan motorku. Hawa dingin masih sangat terasa menemani langkah kakiku yang rasanya pagi ini agak gontai. Ntah apa yang membuatku merasa agak malas. Tapi Bismillah. Ku mulai hari ini dengan menyebut nama-Nya. Semoga hari ini akan ku dapati sesuatu yang berbeda. Aamiin. ^^
Aku berjalan melewati biro-biro di fakultas ini, menuju perpustakaan, tepatnya papan pengumuman yang ada di depan perpustakaan. Mataku melihat ke seluruh penjuru papan. Berharap akan ada seminar atau sejenisnya yang bisa aku ikuti. Syukurlah, keinginanku terkabul. Ahad minggu depan ada seminar bertema “Good Girls” yang diadakan di FMIPA. Kurasakan ada sedikit aliran semangat di tubuhku. Aku harus ikut, batinku.
Setelah puas melihat lihat, ku putuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju ruangan tempat aku akan mengikuti mata kuliah. Namun tiba tiba, “BBBUKKK!!!”. “Awww.” ringisku sambil memegang bahu kananku yang terasa ngilu.
“Afwan.” kudengar ada suara seseorang. “Ku palingkan wajahku menuju asal suara. “Astaghfirullah.” batinku lagi. Aku kaget melihat seorang pria di depanku. Mungkinkah aku bertabrakan dengannya tadi? Oh tidak. Kali ini aku tidak tahu harus berkata apa.
“Aafwan ukhti. Ana tidak melihat ukhti di depan Ana. Ana kurang hati hati. Ada yang sakit ukh?” katanya sambil hendak memegang bahuku. Aku tersadar dari lamunan. Aku menghindar dengan sigap, namun dengan gerakan halus agar tak menyinggung perasaannya. “Kau bukan mahramku.” kataku dalam hati.
“Afwan. Ana juga minta maaf.” kataku datar. Lalu kami menyudahi kejadian itu dengan salam. Aku berbalik dengan masih merasakan ngilu di bahuku. Tadi ku lihat dia sedang memegang buku yang cukup tebal. Ntah dengan buku atau dengan bahunya, bahuku bertabrakan. Ah sudahlah. Aku berusaha menenangkan diri akan rasa halus yang hadir saat itu. Ini hanya kecelakaan.
Seminggu berlalu dari tragedi tabrakan itu. Tapi memoriku masih sangat bisa mereview kembali kejadiannya. Ku rasakan ada yang tidak beres dengan diriku. Terkadang sebuah pertanyaan menggelayut dalam hati. Mungkinkah dia ikhwan? Seperti kakak kakak Rohis cowok di SMA dulu? Tapi mengapa stylenya tidak menunjukkan bahwa ia seorang ikhwan. Kemeja yang dilapisi jaket, di temani celana jeans, serta tidak ada jenggot tipis yang menghiasi wajahnya.
Haha. Aku tertawa dalam hati. Bisa-bisa nya memberi batasan jika ikhwan itu hanya yang bercelana bahan, berkemeja rapi dan berjenggot tipis. Haha. Tapi dia sangat fasih sepertinya dengan kata “Ana “, “ukhti” dan “afwan”.
Ahh. Aku menggelengkan kepalaku. Mencoba membuang jauh -jauh bayang wajahnya. Wajahnya yang seperti tokoh komik jepang yang sering di gambar sahabatku Anggi. Posturnya tidak terlalu besar. Tingginya hanya lebih beberapa centi dariku. Kurus. Tidak terlalu kurus siih. Tapi untuk ukuran cowok. Dia cukup… manis.
Astaghfirullah. Apa yang aku pikirkan? Tidak seharusnya aku memikirkan dia. Ya Robb Ampuni hamba…
***

                Hari di mana seminar yang aku lihat di papan pengumuman itu, dilaksanakan. Aku mengikuti dengan seksama untaian demi untaian kalimat yang di utarakan pembicara. Banyak hal yang ku dapati hari ini. Ini yang membuat aku tak bosan bosan mengikuti seminar demi seminar. Yah… tentu saja harus melihat lihat seminarnya membahas tentang apa. Ya kan?
Aku ingat sebuah hadits yang disampaikan pembicara, bahwa Rasulullah SAW pernah melaknat perempuan-perempuan yang menyerupai laki-laki atau sebaliknya. Betapa miris hati ini melihat kenyataan yang ada. Kaum wanita terkadang berlomba-lomba menunjukkan eksistensinya sebagai cewek tomboy. Sedangkan para prianya tak malu bergaya layaknya perempuan dengan alasan ini kodrat dari Tuhan. Hmp… Andai mereka mengikuti seminar ini. Mungkin bisa memberi pencerahan, khayalku.
Aku berjalan sendiri saat pulang. Temanku Lia yang tadinya ikut bersamaku ke seminar ini, pulang duluan dengan alasan yang janjinya akan ia ceritakan besok. Tak masalah jika aku harus berjalan sendiri, yang jadi masalah, aku lupa di mana parkiran!!! Huhf. Kenapa ruangan tempat seminar harus jauh dari parkiran. Malah harus melewati banyak koridor. Belum lagi ditambah aku ke toilet dulu tadi. Jadilah, aku kehilangan arah.
Aku harus menenangkan diri. Agar aku tak semakin kacau. Dengan rasa PD yang dinaikkan sedikit, aku melihat kanan-kiri. Mencari jalan ke parkiran. Aku malu bertanya, jadilah aku sebagai perumpamaan sebuah peribahasa. Malu bertanya, jalan-jalan (plesetan.com). Yah… sekarang aku harus jalan jalan mencari jalan. L sekali lagi, “BUKKKK!!! “
”Awww.” ringisku sambil memegang bahu kananku yang terasa ngilu.
“Afwan.” kudengar ada suara seseorang. Ku palingkan wajahku menuju asal suara. “Astaghfirullah.” batinku. Aku kaget melihat seorang pria di depanku. Mungkinkah aku bertabrakan dengannya tadi? Oh tidak. Kali ini aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
“Aafwan ukhti. Ana tidak melihat ukhti di depan Ana. Ana kurang hati- ha… hei… anti kan?” kalimatnya terputus. Ekspresinya menunjukkan bahwa ia sedang berpikir. Mungkinkah dia memikirkan apa yang aku pikirkan.
“Sepertinya kita pernah ketemu sebelumnya. Iya kan?” tanyanya mencari kepastian.
“Oh ya? Ana rasa… kita belum pernah ketemu sebelumnya. Mungkin Anda salah orang.” jawabku baku. Aku lihat dia agak bingung. Ah… aku tidak nyaman dengan situasi ini.
“Afwan, Ana minta maaf atas kejadian ini. Ana tidak sengaja. Permisi.” kataku cepat lalu berjalan melewatinya.
“Tunggu ukhti. “
“Astaghfirullah…” batinku. Entah mengapa kaki ku berhenti melangkah. Lalu ku dengar langkah kaki menuju ke arahku.
“Ana ingat sekarang. Kita pernah bertabrakan juga. Di FISIP. Di depan perpus. Ukhti ingatkan?” tanyanya. Aku diam. Mencoba mengeluarkan sedikit bakat aktingku. Berpura-pura tidak ingat, lalu…
“Ohh. Iya, sekarang Ana ingat. Iya Ana ingat.” kataku sambil tersenyum. Aku mencoba agar tidak berlebihan.
“Syukurlah ukhti ingat. Oh iya. Ukhti ngapain di sini? “
“Ana habis ikut seminar tadi di sini.” jawabku datar. “Kalau..?” aku balik bertanya dengan bahasa isyarat.
“Ana juga habis ikut seminar. Seminar ‘Good Girls’. Ukhti juga ikut seminar itu, bukan? Soalnya setau Ana cuma seminar itu yang sedang di adakan di sini.” jawabnya panjang. Aku bingung. Setau ku seminar itu hanya untuk cewek. Tapi kenapa dia ada?
“Ukhti…” katanya membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk. “Iya… iya Ana juga ikut seminar itu.” jawabku ling lung. Dia tersenyum.
“Oh iya. Kita belum kenalan.” katanya. “Ana Reisha. Panggil saja Rey.” katanya lagi sambil mengulurkan tangan. Aku tersentak. Reisha? Bukankah itu nama cewek? Mungkin kah… mungkin kah dia seorang perempuan? Aku menerka- nerka.
“Ukhti…” katanya membuyarkan lamunan ku lagi. Aku ragu antara menyambut jabatan tangannya atau tidak. Tapi akhirnya dengan keraguan itu, aku menyambut tangannya.
“Ana… Syara.” jawabku sambil tersenyum.
Jadilah, perkenalan itu awal cerita persahabatan kami. Setelahnya, kami berjalan menuju parkiran. Ternyata dia juga kehilangan arah. Tapi dia santai saja berjalan dengan buku yang ada di tangannya. Buku yang sekali lagi cukup tebal. Ternyata ini anak memang doyan baca.
Perkenalan yang unik, pikirku. Aku terkadang tertawa kecil dalam hati jika mengingat hal ini. Saat ku tatap wajahnya lekat lekat, baru terlihat di garis wajahnya bahwa ia seorang cewek. Hanya stylenya yang seperti laki-laki. Tapi tetap saja. Ada yang lain di hati ini. Sejak saat itu, entah kenapa kami jadi sangat dekat. Dia sering mengunjungiku ke kelas. Awalnya teman-teman seangkatanku menyangka bahwa ia adalah pacarku. Aku tertawa kecil jika mendengar komentar mereka. Tapi aku sendiri terkadang juga merasa, terlepas dia adalah seorang cewek. Aku dan dia memang terlihat pacaran.
Kami jadi sering bersama sama. Meski beda jurusan, kebanyakan jadwal kami kompakan. Jadi bisa lebih sering bertemu. Ntah apa yang membuatku senang ada di dekatnya. Mungkin karena dia enak di ajak ngobrol. Dia juga dewasa. Enak diajak curhat. Seputar cewek, agama, dan topic-topik yang aku diskusikan dengan ukhti-ukhtiku yang lain. Dari gayanya, dia memang terlihat seperti cowok tulen. Tapi dalemnya, masih tersisa kodratnya sebagi cewek. Aku nyaman ada di dekatnya. Aku diperlakukan sangat baik. Sangat-sangat baik. Aku senang jika dia mengacak acak kepalaku. Untung saja aku pake jilbab, kalo nggak, pastilah rambutku akan acak-acakan.
Semakin lama kedekatan kami membuatku agak lain. Ada rasa yang bersemayam di hati ini. Tapi aku takut untuk mendeskripsikannya. Jika dia seorang laki-laki, mungkin rasa yang aku rasakan ini adalah… ah sudahlah. Aku menepis jauh-jauh perasaan itu. Juga anggapan orang-orang. Teman-teman cewek yang di kelasku pun sekarang mulai menyalahkanku karena lebih sering menghabiskan waktu dengannya. Yang cowok merasa ada yang lain di antara kami. Bahkan kakak-kakak akhwat ada yang sempat menegurku agar aku menjaga jarak dengan Rey. Aku bingung dengan apa yang terjadi.
Apa yang salah jika aku berteman dengan Rey. Dia cewek. Lebih shalihah dari pada teman-teman ku yang lain. Dia rajin shalat. sering menemaniku menjalankan amanah dakwah (padahal dia juga jadi sasaran dakwahku. :P). Mengerjakan tugas bersama. Makan di kantin. Ke mana-mana. Kami dekat. Jika dilihat dari fisik, aku dan Rey seperti sepasang kekasih. Aku sadar. Tapi aku harus bagaimana? Aku merasa nyaman-nyaman saja.
Sudah kurang lebih delapan bulan kami bersama. Aku tetap merasa nyaman. Suatu hari, ada seorang teman cowok yang ada di satu gerombolan yang saat itu duduk di depan kelas. Memanggilku.
“Sya!!” katanya. Aku melihat ke arah mereka dan menjawab, “Apa? “
“Mana pacar kamu?” tanya seorang lagi. aku heran. “Pacar? Siapa? “
“Itu… si Rey.Dia pacarmu kan?” kali ini si Rio yang menyambung. Aku geram.
“Dia bukan pacarku. Dia itu cewek. kalian tahu kan? “
“Iya, kami tahu. Lalu apa salahnya?” kali ini si buntal Ega yang bertanya.
“Jelas salah lah. Kami sama-sama cewek. Mana mungkin pacaran.” jawabku agak keras.
“Mungkin saja. Jika ternyata kalian itu lesbian. “
Aku merasa ada aliran listrik menyambar ke seluruh tubuhku. Kata kata mereka menyentakku. Mungkinkah di mata orang hubungan kami sudah sejauh itu? Benarkah hubungan kami sudah terlalu dekat? Apa benar yang mereka katakan? Apa benar???!!!
Aku tidak bisa menjawab argumen mereka. Aku memutuskan untuk meninggalkan tempat aku berpijak tadi. Mataku panas. Aku takut jika yang mereka bilang itu benar. Aku sadari, terkadang aku merasa bahwa Rey itu adalah seorang cowok. Saat ia merangkulku. Memegang tanganku. Perlakuannya begitu istimewa. Aku menyayanginya. Rasa ini terlalu rumit.
Malam itu, aku bermunajat kepada-Nya. Memohon ampun atas kesalahanku dalam perkara ini. Aku memohon petunjuk. Meminta jawaban atas perasaanku. Aku yakin, Allah mengetahui semuanya. Jika ternyata memang ada yang salah, aku meminta kebenaran.
***

              “Sya… Rey mau pake jilbab.” kata Rey suatu hari ketika kami ada di rumah Rey. (tidak ada lagi panggilan Ana dan ukhti. Rey bilang panggil nama aja. ) Rumah sederhana namun asril yang memang disediakan untuknya. Dia tinggal sendiri di sini. Orang tuanya ada di Bandung. Tepatnya, hanya sang ayah dan ibu tiri serta adik tirinya. Ibunya rey sudah lama meninggal. Asuhan sang ayah yang salah lah yang membuat Rey seperti ini.
“Alhamdulillah. Rey serius?” tanyaku memastikan. Dia mengangguk.
“Kapan mulainya? “
“Secepatnya. “
“Tapi, jilbab yang seperti apa yang Rey maksud?” aku bertanya seperti ini hanya ingin memastikan. Apa dia akan memakai jilbab panjang seperti ku atau tidak. Aku takut, dia akan kaget dengan respon orang-orang saat melihatnya mengenakan jilbab.
“Pengennya sih seperti punya Sya. Rey mau jadi seperti Sya dan kakak-kakak akhwat lainnya. “
“Kalo menurut Sya, kita mulai pelan-pelan dulu. Ntar kita ke toko muslimah tempat Sya sering beli jilbab atau baju. Ntar di sana kita pilih pilih, mana jilbab yang cocok untuk Rey. Gimana?” jawabku memberi solusi. Rey mengangguk tanda setuju. Aku tersenyum. Syukurlah.
***

              Reysha Asdilla binti Hermawan. 15 februari 1991 – 10 Oktober 2010.
Aku memegang lemah papan nama yang tertancap untuk menandakan siapa pemilik gundukan tanah di tengah pemakaman itu. Tanah yang masih basah dengan taburan kelopak bunga warna warni. Orang-orang sudah lama pergi dari acara pemakaman. Yang ada hanya aku dan sebuah buku diary.
Kanker payudara stadium akhir. Penyakit ini telah merenggut nyawa sahabatku. Dari buku kecil ini, aku tahu. Hari di mana rey bilang ingin mengenakan jilbab, adalah seminggu setelah dia tahu bahwa waktunya tak lama lagi di dunia ini. Tiga hari setelahnya, Rey mengenakan busana wanita yang rapi. Masih menggunakan celana. Tapi longgar dan bajunya pun terjulur menutup hingga di atas lutut. Jilbabnya memang belum panjang, tapi jadilah. Tidak sempit ataupun transparan. Hari itu dia sangat cantik.
Keesokan harinya, Rey masuk rumah sakit. Tiga hari dirawat. Aku dapati Rey telah jadi mayat. Kanker payudara itu bersarang karena selama ini Rey selalu menggunakan kain untuk melilit payudaranya agar tak terlihat jelas. Kanker payudara. Merenggut nyawa sahabat ku.
Persahabatan yang singkat. Namun memberi kehangatan yang tak akan pernah aku lupakan. Semoga Rey di terima oleh Allah. Semoga Rey bukan salah satu di antara orang yang dilaknat Rasulullah. Semoga Rey bisa jadi wanita sesungguhnya di surga sana. Karena Rey memang seorang perempuan.

0 comments:

Post a Comment